Pasca-pelimpahan kewenangan di sektor pendidikan menengah, Gubernur kini bertindak sebagai Pengelola Penuh Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Sekolah Luar Biasa (SLB) di wilayahnya. Peran sentral ini diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menarik kembali kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota ke tingkat provinsi. Perubahan ini bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan dan standar mutu pendidikan di seluruh wilayah provinsi.
Sebagai Pengelola Penuh, Gubernur bertanggung jawab atas seluruh aspek tata kelola pendidikan, mulai dari perencanaan strategis hingga implementasi di lapangan. Ini mencakup penentuan kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB), penetapan standar minimal sarana dan prasarana, serta alokasi anggaran operasional. Keseragaman kebijakan di tingkat provinsi diharapkan mampu mengurangi disparitas kualitas pendidikan antara sekolah di perkotaan dan di daerah terpencil.
Salah satu tugas terpenting Gubernur sebagai Pengelola Penuh adalah pengelolaan sumber daya manusia, terutama guru dan tenaga kependidikan. Kewenangan ini mencakup rekrutmen, penempatan, promosi, mutasi, dan pembinaan karir. Dengan sentralisasi ini, Gubernur dapat memastikan distribusi guru yang lebih merata dan profesional, serta memberikan pelatihan yang terstandardisasi untuk meningkatkan kompetensi pengajar secara keseluruhan.
Dalam aspek pembiayaan, Gubernur memiliki peran kunci dalam mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk pendidikan menengah. Gubernur harus memastikan dana yang tersedia tidak hanya cukup, tetapi juga efektif digunakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan infrastruktur. Pengelola Penuh wajib menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana, termasuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat.
Tantangan utama yang dihadapi Gubernur sebagai Pengelola Penuh adalah besarnya cakupan wilayah dan jumlah sekolah yang harus dikelola. Diperlukan sistem birokrasi yang efisien dan digital untuk memonitor ribuan sekolah secara efektif tanpa menyebabkan stagnasi. Kerjasama erat dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan stakeholder terkait menjadi kunci untuk mengatasi kompleksitas manajemen pendidikan menengah di era otonomi daerah ini.
Keputusan Gubernur mengenai kurikulum lokal dan pengembangan program kejuruan (SMK) sangat memengaruhi relevansi lulusan dengan kebutuhan industri daerah. Sebagai Pengelola Penuh, Gubernur dapat mengintegrasikan potensi ekonomi lokal ke dalam kurikulum, sehingga menciptakan lulusan yang siap kerja. Sinkronisasi antara dunia pendidikan dan dunia usaha menjadi lebih mudah di tingkat provinsi daripada di tingkat kabupaten.
Sistem pengelolaan yang dijalankan oleh Gubernur harus dirancang agar tetap responsif terhadap kebutuhan spesifik sekolah. Meskipun kebijakan disentralisasi, pelaksanaannya harus adaptif terhadap kondisi geografis dan sosial ekonomi masing-masing daerah. Otonomi di tingkat sekolah tetap harus didorong untuk memastikan inisiatif kreatif dan inovasi pembelajaran tidak terhambat oleh aturan birokrasi provinsi yang kaku.
