Indonesia adalah salah satu produsen Karet Alam terbesar di dunia, namun ironisnya, nilai ekspor komoditas ini seringkali tertekan oleh fluktuasi harga global dan ketergantungan pada pasar tunggal, yaitu industri ban. Untuk mengatasi ketidakstabilan ini dan mendongkrak daya saing di pasar internasional, sektor pertanian dan industri Indonesia kini mengambil langkah strategis: menggeser fokus dari ekspor bahan mentah menuju produk high-value dan terbarukan. Transformasi ini menjadikan Karet Alam tidak lagi sekadar komoditas bulk, melainkan bahan baku bernilai tambah tinggi untuk berbagai sektor non-otomotif.
Pergeseran fokus ini merupakan bagian dari Strategi Hilirisasi Nasional yang dicanangkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kemenperin mencatat bahwa lebih dari 80% dari total produksi Karet Alam Indonesia masih diekspor dalam bentuk Ribbed Smoked Sheet (RSS) atau Standard Indonesian Rubber (SIR) yang bernilai jual rendah. Untuk mengubah struktur ini, pemerintah mendorong inovasi dalam pengolahan. Contoh paling menonjol adalah pengembangan thermoplastic natural rubber (TPNR) dan lateks untuk produk kesehatan.
Inovasi Produk Non-Otomotif
Pengembangan TPNR menjadi kunci keberhasilan diversifikasi. TPNR adalah jenis karet yang memiliki sifat elastis seperti karet, tetapi dapat diproses ulang seperti plastik, membuatnya ideal untuk industri fashion, konstruksi, dan peralatan rumah tangga. Pusat Penelitian Karet Bogor bersama Universitas Sriwijaya (Unsri) telah berhasil mematenkan proses produksi TPNR yang lebih efisien dan ramah lingkungan, yang risetnya rampung pada Desember 2024. Teknologi ini kini mulai diadopsi oleh lima pabrik pengolahan lateks di Sumatera Selatan.
Selain TPNR, sektor kesehatan menjadi pasar premium yang sangat menjanjikan bagi Karet Alam Indonesia. Lateks karet dengan kemurnian tinggi (low protein) adalah bahan baku esensial untuk sarung tangan bedah, kateter, dan alat medis lainnya. Permintaan global untuk sarung tangan medis, yang melonjak tajam selama pandemi, telah mendorong para pengusaha karet untuk membangun fasilitas pengolahan lateks yang sangat higienis. Salah satu pabrik di Medan, Sumatera Utara, misalnya, pada Jumat, 2 Mei 2025, berhasil mendapatkan sertifikasi FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat untuk produk sarung tangan bedah mereka, membuka pintu ekspor ke pasar kesehatan yang ketat.
Kesejahteraan Petani dan Keberlanjutan
Dampak positif dari hilirisasi ini dirasakan langsung oleh petani. Dengan meningkatnya permintaan untuk lateks kualitas premium dan produk high-value lainnya, harga jual di tingkat petani pun menjadi lebih stabil dan tinggi. Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO) Jawa Barat mencatat bahwa harga getah bersih yang diserap oleh pabrik TPNR dapat mencapai 15% lebih tinggi dibandingkan harga getah untuk pasar konvensional.
Untuk mendukung keberlanjutan, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan terus mendorong program peremajaan replanting karet, memastikan petani menggunakan klon unggul dengan produktivitas tinggi dan masa sadap yang optimal. Upaya kolektif dari hulu ke hilir ini bertujuan memastikan bahwa Karet Alam Indonesia tidak lagi sekadar menjadi komoditas bulk, tetapi menjadi penopang ekonomi berkelanjutan yang berdaya saing global.